Muhammad Ikhsan

Review Film Library Wars (2013), Melindungi Buku, Melawan Peluru dengan Peluru

02. Dec. 2015

Library Wars atau orang Jepang nyebutnya Toshokan Sensō adalah film live action adaptasi dari anime dengan judul yang sama. Sebelum populer dalam bentuk anime, Library Wars lebih dulu populer dalam bentuk manga. Setelah sedikit buka-buka wiki, manga Library Wars adalah adaptasi dari light novel dengan judul yang sama. Maka jadilah paragraf awal ini menunjukkan contoh apa yang disebut adaptasi-ception. :))

Light novel Library Wars terdiri atas empat series; Library Wars, Library Infighting, Library Crisis, dan Library Revolution. Ditulis oleh Hiro Arikawa yang kemudian pertama kali di publikasikan pada Februari 2006. Adaptasi manganya dibuat oleh Kiiro Yumi yang terbit pertama kali pada September 2007. Pada April 2006, episode pertama (dari 12 episode) anime Library Wars ditayangkan stasiun tv FujiTV.

Mendapatkan reaksi positif di TV, dengan staf yang sama yang menggarap serial animenya, Library Wars dalam bentuk film anime diangkut ke layar lebar pada pertengahan tahun 2012. Lalu dilanjutkan dengan versi live action-nya pada tahun 2013. Dua tahun kemudian, alias tahun 2015, barulah film ini ditayangkan di laptop saya. Nah, selanjutnya kita akan lebih banyak ngobrol berdasarkan versi live action-nya.

review library wars
Gambar via jpopasia.com

Library Wars: Film Serius yang Dibercandain

Film Library Wars mengambil latar di Jepang pada tahun 2019. Meskipun ceritanya pada tahun 2019, sesungguhnya konflik di film ini diceritakan berawal sejak tahun 1988. Bercerita tentang perlawanan terhadap pemerintah yang melakukan sensor dan pelarangan terhadap media.

Kalo di sebuah negara bekas jajahannya Jepang hal tersebut lebih terkenal dengan istilah “bredel”, biar lebih terasa hawa-hawa revolusionernya :p. Pembredelan berlaku terhadap semua media baik yang tersedia secara online maupun offline yang di dalamnya terdapat materi-materi pornografi, kekerasan dan juga diskriminasi serta hasut dll. Namun dalam film ini lebih menekankan pada perjuangan menghadapi pembredelan terhadap buku dalam bentuk cetak.

Konflik dalam film Library Wars dibangun antara pihak pemerintah pusat dengan pengelolah perpustakaan daerah. Pihak pemerintah dengan badan sensornya yang dipersenjatai– Media Betterment Commite (MBC), sementara para pustakawan melawan dengan Lembaga Dakwah Fakultas Library Defense Force (LDF). Baik MBC maupun LDF, keduanya merupakan unit militer yang dipersenjatai secara legal.

Kedua organisasi tersebut memiliki dasar hukum yang entah kenapa di film ini dibuat amburegul. MBC dipayungi dengan undang-undang sensor media (Media Improvement Act) sementara LDF bertindak berdasarkan undang-undang kebebasan perpustakaan (The Library Freedom Act).

review library wars
Gambar via comicpoplibrary.com

Selain konflik militer dan ideologi antara LDF vs. MBC, dalam film ini juga diselipkan konflik-konflik personal antar tokoh. Sehingga bagi saya, menonton film yang durasinya 2 jam lebih ini tidak begitu membosankan. Tidak monoton; kadang kita tertawa terbahak-bahak kadang pula kita harus berhenti dan berpikir sejenak. Maka tidak salah jika tukang review di Beyondhollywod menulis bahwa Library Wars merupakan film kombinasi genre sci fi, aksi, dan komedi romantis dengan penyataan-pernyataan filosofis yang serius. Dan saya sangat sepakat, *salaman.

We protect the books and freedom of the people. For nation that destroy their books, will eventually destroy their people.

Salah satu konflik personal bernuansa roman dibuat antara tokoh utama wanita dan pria. Kalau cerita utama ataupun sekedar bumbu penyedap anime yang umumnya populer dengan cerita “junior cewek yang suka seniornya yang cowok” maka film adaptasi anime ini malah sebaliknya.

Kalau stereotype-nya anime romantis Jepang pada umumnya diwakili dengan tagline “Notice me Senpai“, maka film ini tampil dengan tagline romansanya sendiri; “Notice me Kouhai“. Ya meskipun si senpai alias si komandan di sini terlihat agak jual mahal juga sih. Tapi percayalah, nontonlah, dan anda akan menemukan feel #NoticeMeKouhai. :v :v

review library wars
Gambar via animenewsnetwork.com

Satu hal yang mengganjal dari Library Wars live action ini ada pada scene-scene perang-perangannya yang terasa hambar. Dari semua scene kontak senjata, umumnya didahului dengan scene dialog-dialog negosiasi serius yang membuat saya ikutan serius dan bisa dikira-kiralah apa yang saya inginkan selanjutnya; PERANG.

Perang yang saya maksud di sini lebih ke efek atau sensasi yang dirasakan sebagai penonton sih, ekspektasi saya paling tidak bisa ngasi efek sama seperti ketika menonton Battle Royale. Tapi pada kenyataannya, scene perang di film ini terkesan gak niat.

Pernah nonton acara Sule, Andre, Parto dkk yang Opera Van Java? Pernah nonton salah satu episode dimana mereka memperagakan aksi-perang-perangan? Nah, sensai semacam itu yang saya rasakan ketika menonton sebagian besar scene perang-perangan di film ini.

Untuk para pemerannya, khususnya para pemeran utama saya gak bisa bahas banyak karena bagi saya mereka masih sangat asing. Mungkin karena para pemainnya jarang main dorama kali ya. Ato mungkin mereka main dorama tapi buka dorama dengan tema yang saya senangi. Atau mungkin saya yang kurang piknik (?)

Yang familiar paling beberapa pemeran pendukung, salah satunya mba Kuriyama Chiaki yang berperan sebagai Asako Shibasaki, sahabatnya si tokoh utama Iku Kasahara– diperankan Eikura Nana. Penampilan mba Chiaki di live action Library Wars gak kalah kerennya dengan penampilannya di Team Batista 4. Yah, meskipun bukan pemeran utama, tapi dia bisa jadi jaminan mutu. Pernah main di Kill Bill, juga muncul di salah satu sekuel SPEC. Itu sudah. Full cast nya bisa liat di mari.

tags: Battle Royale Eikura Nana Film Jepang Kuriyama Chiaki Sensor Media ulasan