Muhammad Ikhsan

Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat

27. Dec. 2015

Dunia Sophie — Sophie Amundsend, seorang pelajar sekolah menengah berusia empat belas tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?”

Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya dunia?”

Seakan tersentak dari rutinitas kehidupan sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Dia mulai belajar filsafat.

ulsana dunia sophie
Gambar via inspirasipagi.id

Dunia Sophie dan Fase Hidup Eropa

Novel yang terbitan awalnya dalam Bahasa Norwegia ini menceritakan sejarah filsafat sejak awal di Yunani hingga tersebar ke seluruh Eropa. Setiap gagasan filsuf-filsuf disampaikan secara berurut berdasarkan waktunya, mulai dari zaman mitologi Yunani hingga zaman kebangkitan teknologi Eropa. Dari kisah perang para dewa hingga zaman sekarang dimana kisah perang para dewa di filmkan. Dari legenda Thor dengan kekuatan palunya hingga zaman keemasan Marx yang kemudian memunculkan ketakutan akan palu-arit di salah satu tanah bekas pendudukan Jepang.

… pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan… [hal. 25]

Penulis melalui salah satu tokoh dalam buku mempersonifikasi kehidupan Eropa layaknya kehidupan manusia yang kemudian menjadi acuan pembahasan dan pengelompokan gagasan filsafat Eropa. Zaman Yunani kuno dianggap sebagai masa kanak-kanak Eropa, abad pertengahan adalah masa sekolahnya, dan Renaisans sebagai usia dewasa dengan ledakan kegembiraan serta semangat hidup yang luar biasa.

Dunia Sophie, Bukan Bacaan Santai

Membaca dan mampu menyelesaikan Dunia Sophie yang berlabel novel sejarah filsafat bukanlah sesuatu yang gampang dan dapat dilakukan dengan cepat, setidaknya hal tersebut berlaku bagi saya. Butuh waktu 400an hari untuk selesai membaca 800an halaman karya penulis Norwegia ini– Joestein Gaarder. Meskipun memang dari 408 hari ini saya tidak membaca setiap hari, kadang sehari saya dapat membaca 10 halaman atau kadang pula dalam seminggu bahkan sebulan saya tidak membaca sehalaman-pun.

Yap, 10 halaman, bukannya karena faktor malas sehingga sehari hanya bisa membaca maksimal 10 halaman. Faktor isi bukunya yang bagi saya memang bukan bacaan santai. Dunia Sophie ini bukan buku yang dapat dijadikan teman perjalanan ketika berkereta baik dari segi dimensi maupun isi. Bukan pula buku yang dapat dijadikan pembunuh rasa bosan ketika menunggu jemputan apalagi pesanan.

Kalo dihitung-hitung, saya membaca 85% Dunia Sophie sambil tengkurap di atas kasur. Ngantuk bukan masalah utama, melainkan dorongan untuk selalu berkontemplasi setelah membaca se-bab atau bahkan hanya separagraf gagasan tokoh-tokoh filsafat Eropa yang disampaikan Alberto Knox kepada Sophie. Nah, pada tahap berkontemplasi inilah ngantuk baru menjadi masalah. :0

… tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan… [hal. 65]

Perihal pemahaman, atau mungkin lebih pantas disebut sebagai penerimaan, tidak semua apa yang ada dalam buku ini dapat saya terima secara prinsip. Misalnya pada beberapa bagian yang mengisahkan kehidupan Nabi Isa a.s. Penulis menceritakannya dengan sudut pandang dan kepercayaan Kristen, dimana hal tersebut berbeda jauh dengan versi kalangan Islam– termasuk saya. Bahkan secara umum– mengutip pengantar Penerbit Mizan, dapat dikatakan bahwa Dunia Sophie ini mengandung bias Barat yang cukup kental. Hal tersebut terlihat jelas ketika Gaarder membahas situasi dunia pada Abad Pertengahan, dimana dia melewatkan banyak kontribusi besar para filsuf dan ilmuan Islam dalam mengantarkan Eropa keluar dari abad kegelapannya.

Hal menarik dari buku ini adalah adanya potret lukisan wajah setiap filsuf yang dibahas. Selain itu, keunikan lainnya adalah adanya pergantian tokoh utama yang menjadi penjaga alur cerita di tengah-tengah buku. Nanti, anda akan menemukan bagian dimana anda membaca buku yang isinya tentang orang yang sedang membaca buku. Dimana isi buku yang dibacanya terdapat setengah dari buku yang sedang anda baca. Bingung gak? Yaudah, Baca aja dah, kalo mulai bosan sebelum halaman 450an, ingat kata-kata ini, “selanjut, semuanya akan berulang namun berbeda tapi akan lebih jelas”. Biar berasa filsafatnya :))

Menempuh separuh jalan itu tidak sama dengan mengambil jalan yang salah. [hal. 285]

Bagi kawan-kawan yang senang membagikan ato sekedar membaca kutipan-kutipan bijak menggelegar membahana di media sosial, maka buku ini sangat saya sarankan untuk kawan-kawan baca. Juga buat aktifis-aktifis mahasiswa yang senioritasnya nanggung, membaca buku ini cukup bisalah menjadikan kalian terlihat keren di mata para mahasiswa baru ketika kalian ngebacot di forum-forum diskusi. Tidak perlu bersusah payah memahami, cukup hapalkan atau catat beberapa kalimat yang menurut kalian diksinya bagus. Masalah paham mah belakangan, bocot dulu yang didahulukan. :))

Kalo kata Jean-Paul Sartre; Eksistensi manusia mendahului dirinya. Aku ada mendahului “apakah” aku ini. Yang penting eksis dulu, esensi mah bisa belakangan.

tags: Joestein Gaarder fiksi filsafat novel terjemahan ulasan