“Layaknya makanan, berbagai tulisan dalam bentuk buku ini ibarat kudapan sore hari menemani minum teh hangat atau kopi pahit di beranda belakang rumah. Ada suasana romantik hendak diciptakan. Tak perlu tergesa-gesa menikmatinya. Santai saja. Maka ketika mulai masuk ke dunia yang menghadirkan berbagai kisah, kita merasakan penulisnya sengaja menyajikan semacam remah-remah kehidupan keseharian. Sebagai remah – remah, kesannya seperti tak penting. Bukankah repihan makanan yang jatuh tercecer dari roti atau kue-kue kering, kerap diabaikan lantaran ia seperti sudah seharusnya begitu?”. Begitu potongan pengantar buku ini yang disampaikan oleh Maman S. Mahayana.

kumpulan esai berbagi ruang
Gambar via Goodreads

Benar saja, membaca kumpulan esai Berbagi Ruang punya mba Utami ini seperti membaca hal-hal sepele yang menurut saya hampir kita semua pernah alami. Saking sepelenya kita tidak pernah memperdulikan apakah hal-hal tersebut pernah kita alami/ rasakan/ renungkan atau tidak.

Membaca buku ini mengingatkan saya pada tulisan-tulisan para Blogger di rentang tahun 2007-2011. Saat itu sangat gampang menemukan konten blog berupa tulisan-tulisan yang nuansa personalnya sangat terasa. Dari hal remeh temeh hingga kejadian-kejadian biasa yang kemudian dikontemplasikan dengan segala hikmahnya. Pada tahun-tahun itu, membaca blog atau lebih dikenal dengan blog walking (masih ada?), kita akan merasa sedang mengobrol dengan si blogger sembari duduk santai menyeruput kopi di warung-warung pinggir jalan.

Sama halnya saat membaca buku ini, serasa saya sedang duduk berhadap-hadapan dengan penulis. Menjadi pendengar yang baik di sisi meja yang lain. Mengagumi bagaimana dia bercerita tentang pengalamannya sehari-hari serta pandangannya yang tidak umum terhadap fenomena-fenomena yang umum terjadi.

Berbagai topik disampaikan dengan santai dan ringan, namun tetap tidak lepas dari pesan moral yang ingin disampaikan. Meskipun begitu, tidak ada kesan menggurui apalagi memaksakan standar moral penulis kepada para pembaca. Bahkan di beberapa tulisan, si penulis mengajak kita untuk berkontemplasi dan menarik kesimpulan sendiri. Hal ini tercermin dari beberapa esai yang ditutup manis dengan pertanyaan yang mengajak kita memikirkan hal-hal remeh tersebut dari sudut pandang yang berbeda.

Hal lain yang menjadikan kumpulan esai ini menarik adalah keragaman tema dan bagaimana penulis memposisikan diri dengan peran berbeda yang penulis miliki. Mulai dari seorang sahabat, dosen, hingga pandangan-pandangan dari sisi paling personal sesuai perannya sebagai anak, ibu maupun istri.

Satu hal yang membuat saya kurang nyaman adalah ketika mulai memasuki bagian-bagian akhir dari buku. Di beberapa esai ada literatur-literatur yang berasa sangat dipaksakan untuk disebutkan. Terlepas dari hal tersebut, bagi saya buku ini adalah teman yang asyik diajak berkereta, bahkan berpesawat. Buku kumpulan esai Berbagi Ruang ini menemani saya ketika harus menunggu pesawat akibat delay hampir dua jam (maskapainya pasti bisa ketebak lah ya). Buku ini menjadi bacaan di sela-sela kegiatan menyusun dan memikirkan resolusi-resolusi di tahun 2018.